Rabu, 08 April 2009

Iklan rokok dalam dunia anak dan remaja


Dari media massa kompas, saya telah membaca beberapa hal tentang kasus merokok di Indonesia. Berdasarkan laporan Economic Analysis on Tobacco Use pada 2004, di Indonesia rokok membunuh 427.948 orang alias 1.174 orang per hari. Data Global Youth Tobacco pada tahun sama menyebutkan, tingkat prevalensi perokok anak usia 13-15 tahun mencapai 24,5 persen dari total populasi anak Indonesia.

Dari jumlah itu, 2,3 persen adalah remaja perempuan sehingga prevalensi perokok pemula usia 15-19 tahun meningkat dari tahun ke tahun. Pada 1995 angka itu adalah 13,7 persen, menjadi 24,2 persen pada 2000, dan 32,8 persen pada 2004, dan angka itu cenderung meningkat pada lima tahun terakhir.

Sangat banyak sekali iklan dan promosi rokok di berbagai media massa, spanduk, dan lain lain yang sangat beragam. Tetapi disini saya tidak membahas hal itu. Disini yang saya soroti adalah iklan rokok dalam berbagai kemasan acara, terutama acara yang menyangkut anak dan remaja harus segera dilarang sebagai bentuk perlindungan anak dan remaja.

Berdasarkan kajian berbagai pihak yang giat dalam penanggulangan bahaya merokok dan perlindungan anak, disimpulkan, seluruh rangkaian kegiatan pemasaran industri rokok sangat sistematis untuk menjadikan anak-anak dan remaja sebagai perokok pemula.

Hal ini sudah terlihat pada sebagian besar acara yang digelar baik anak maupun remaja pasti ada saja yang menyangkut iklan rokok di dalamnya. Ini dapat menyajikan informasi tidak sehat yang bisa mengganggu proses pertumbuhan dan perkembangan anak dan remaja dari banyak aspek. Industri rokok menjadi sponsor aktif kegiatan olahraga, kesenian, dan lain-lain yang banyak bersentuhan dengan dunia remaja, bahkan dunia religi. Contohnya saja kegiatan festival musik di kalangan anak sekolah menengah atas, biasanya akan menghadirkan iklan sponsor rokok di dalamnya.

Dalam kegiatan sponsor ini memang tidak mengajak secara langsung bagi remaja untuk merokok, tetapi dalam dunia marketing terdapat satu tipe jenis marketing yaitu soft selling. Soft selling adalah sistem penjualan yang dilakukan secara halus dan tidak menawarkan produk secara langsung. Bagaimana tidak terjadi peningkatan jumlah perokok di kalangan remaja, jika dalam setiap kegiatan mereka selalu di jejali dengan berbagai iklan rokok di dalamnya.

“UU Nomor 23/2002 Tentang Perlindungan Anak jelas menyebutkan bahwa anak dan remaja Indonesia harus dilindungi dari berbagai hal yang bisa merugikan hak hidup mereka”


Sejauh ini belum ada peraturan resmi yang meregulasi tata cara pemasaran rokok dan yang memiliki semangat melindungi anak dan remaja dari bahaya rokok. Komisi Nasional Perlindungan Anak sendiri tengah mendekati Mahkamah Agung untuk keperluan perlindungan anak ini.

Semoga nantinya iklan rokok tidak lagi masuk dalam kegiatan dunia remaja, walaupun nantinya terdapat berbagai kotroversi yang terjadi. Tetapi ini demi generasi penerus bangsa yang sehat, baik jasmani maupun mental, karena mereka belumlah pantas untuk merokok dikalangan usia perkembanganya.

Sabtu, 04 April 2009

Membentuk rasa percaya pada anak


Menurut Erik Erikson (1968), tahun pertama kehidupan bayi ditandai dengan tahap perkembangan rasa percaya dan tidak percaya, bayi menuntut lingkungannya untuk aman secara fisik dan hal-hal yang menyakitkan. Kepercayaan pada masa bayi dapat memunculkan pemikiran bahwa dunia adalah tempat tinggal yang baik dan menyenangkan. Bayi akan mempelajari rasa percaya jika mereka diasuh dengan cara yang konsisten dan hangat.

Contonya, jika bayi pada saat lapar tidak diberi makan dengan baik dan diberikan suasana hangat yang konsisten, maka bayi akan cenderung berkembang dengan rasa tidak percaya. Inilah hal yang perlu orangtua perhatikan dalam masa tahap perkembangan awal bayi mereka.

Bayi yang memiliki rasa percaya cenderung untuk memiliki rasa aman secara sosial maupun lingkunganya dan memiliki rasa percaya diri mengekplorasi lingkungan yang baru. Begitu juga sebaliknya, bayi yang tidak mempunyai rasa percaya cenderung untuk tidak memiliki harapan-harapan positif.

Rasa percaya ternyata tidak hanya muncul pada tahun pertama kelahiran saja tetapi juga muncul pada tahap-tahap perkembangan selanjutnya. Seperti, anak yang memasuki sekolah dengan rasa tidak percaya akan dapat mempercayai guru tertentu yang lebih banyak meluangkan waktunya untuk membuat dirinya sebagai orang yang dapat dipercayai. Begitu juga dengan anak yang memiliki rasa percaya akan berubah jika pada tahap perkembangan selanjutnya terjadi sesuatu kejadian seperti orangtuanya bercerai akibat konflik yang berkepanjangan.

Ada sebuah contoh kasus. Seorang laki-laki berusia 4 tahun sedang dirawat oleh psikologi klinis karena orangtua angkatnya mengembalikanya ke panti asuhan setelah diasuh selama 6 bulan. Anak ini dingin, tidak mempunyai rasa sayang, suka mencuri benda-benda dan tidak dapat dipercayai. Hal ini terjadi bukan tanpa alasan, kira-kira setelah setahun kelahiranya (hasil pekawinan tidak sah), ia dirawat berpindah-pindah oleh panti asuhan.

Pada awalnya ia mencoba untuk membangun hubungan dengan orang-orang di panti asuhan, tetapi hal ini tidak dapat berkembang karena terlalu sering dipindahkan dari panti ke panti. Pada akhirnya, ia berhenti untuk menjangkau orang lain karena perpisahan yang tidak terelakkan itu sangat menyakitkan.

Seperti anak yang terluka akibat terkena api, maka ia akan berusaha untuk tidak mendekati bila terdapat nyala api didepanya. Hal ini sama, jika anak mengalami rasa sakit atas hubungan emosional maka selanjutnya ia tidak akan mempercayai siapa pun. Hanya pengasuhan dan kesabaran bertahun-tahun untuk dapat memulihkan rasa tidak percaya si anak.

Oleh karena itu berilah anak anda rasa perlindungan, perhatian, kasih sayang dan kelekatan yang konsisten, terutama pada awal tahun pertama kelahiran agar anak dapat memiliki rasa percaya akan situasi sosial dan lingkungan sekitarnya. Tentu saja pada tahap-tahap perkembangan selanjutnya juga perlu untuk menjaga kepercayaan pada anak agar tetap terbentuk.