Sabtu, 28 Februari 2009

Akibat Salah Mendidik


Mungkin anda sebagai orangtua pernah mengalami keadaan ini. Ketika anak kita sedang berlari-lari tetapi kemudian terdengar suara "Buukkk", anak kita terjatuh di lantai. Tetapi apa yang dilakukan anak kemudian? Ternyata dia tidak menangis, tetapi malah berdiri dan mundur 2 langkah dan menepuk lantai berkali-kali. Mungkin anda terheran-heran melihatnya.

Hal ini bisa akibat dari, ketika anak waktu masih belajar merangkak jatuh dan kemudian nangis, anda datang dan kemudian berkata, “hush, hush, diem, siapa yang nakal? Lantainya yang nakal ya?”

Mungkin hal seperti ini lumrah dilakukan untuk menenangkan anak yang nangis.Tetapi apakah anda tahu bahwa hal ini sungguh salah dalam mendidik anak. Berikut adalah kesalahan-kesalahan yang bisanya dilakukan orangtua:

1. Menyalahkan yang lain

Ini seperti yang tadi sudah saya ilustrasikan di atas, anak jatuh karena kesalahannya sendiri tapi orang tua memilih menyalahkan lantai, batu, kadang-kadang kodok juga (apa hubungannya coba?!) secara tidak sadar orang tua sudah mendidik anak untuk tidak mau bertanggung jawab atas kesalahannya sendiri, malah sibuk mencari kambing hitam.

2. Membohongi anak

“jangan duduk deket tipi mas, ada kecoaknya lho!” kata pembantu anda waktu anak anda tidak mau mundur dari teve. Tujuannya benar tapi caranya salah, anak harus dikasih tahu apa adanya walaupun mungkin dia belum begitu mengerti. Kalau nanti anak anda tahu di bawah teve tidak ada kecoak, dia akan berani melawan kalau disuruh mundur, dan siapa tahu dia pun akan mulai belajar bohong, kan anak kecil bisanya cuma meniru terutama dari kebohongan anda…

Ada lagi yang lain, “udah jangan nangis, kalau gak nangis besok ayah ajak ke mall”, anak berhenti menangis, besok ayahnya capek, lupa sama janji ke anak. Yang model begini juga mengajarkan anak bohong.

3. Memotong kreatifitas anak

Ilustrasinya begini, misalnya waktu Doni masih kecil ngguntingin taplak meja, kemudian ibu reaksinya bukan, “eh goblok! Itu taplak jangan diguntingin! Dasar dodol! Mahal tahu!” bukan begitu, tapi dengan lembut doni dideketin, kemudian ditanya, “Doni, kenapa taplak mejanya digunting?” Doni bilang, “Buat belajar.” Dari situ ibu mencari kertas kemudian bilang ke doni, “Lain kali jangan taplak mejanya yang digunting ya, itu bukan buat mainan, kalau taplak mejanya rusak kan mejanya jadi jelek. Ini kalau mau latihan nggunting pake kertas saja”

Di sini saya mau mengatakan bahwa, anak kecil masih belum punya konsep benar salah, plus tingkat penasarannya tinggi. Jadi salah kalau dia lagi memuaskan rasa ingin tahunya kemudian dipotong dengan cara keras, karena dia tidak tahu itu salah. Biarkan dia berimajinasi, cukup dikawal agar tidak membahayakan.

4. Overprotected


Kadang anak suka melakukan hal-hal yang berbahaya, manjat, lompat, dan lain-lain, yang bikin orang tua kadang suka rada takut. Yang jadi masalah kadang karena tidak ingin anaknya kenapa-kenapa akhirnya si anak dilarang-larang, mau ini jangan, mau itu jangan. Alhasil, tumbuhlah anak anda jadi anak penakut dan tidak punya semangat juang. Biarkan saja anak mau ngapain selama masih dalam batas kewajaran, yang penting dijaga agar tidak kebablasan dan tidak membahayakan dirinya sendiri.

5. Do as I say not as I do


Yang terakhir, anak cuma sedikit mendengar tetapi banyak melihat. Ketika anak bersuara dengan keras , ibunya membentak, “Kamu kalau ngomong jangan kayak gitu!” dengan nada yang tidak kalah keras. Kalau anak anda nakal, sebelum banyak menasihati cobalah dulu berkaca, apakah yang mau anda sampaikan sudah sesuai dengan apa yang selama ini anda lakukan.

Perkawinan Sumber Stress


PERKAWINAN dapat menjadi sumber kebahagiaan terbesar bagi kita, tetapi bisa juga merupakan sumber stres yang terkuat dalam hidup.
Dalam konsep psikologis, perkawinan digambarkan sebagai "dua pribadi yang menyatu". Dua orang dengan pikiran, keinginan, latar belakang, dan harapan berbeda-beda, memutuskan untuk bergabung dalam kehidupan bersama.
Tentunya ini berpotensi menimbulkan stres, seperti yang disampaikan Nindi dan Nando, pasangan muda yang baru satu tahun menjalani bahtera perkawinan.

Nindi: Saya pikir dengan menikah, saya bisa mengalami kehidupan baru yang membahagiakan seperti akhir cerita di dongeng-dongeng.. Saya bisa lepas dari kekangan "jam malam" yang ditentukan ayah, saya bisa mengatur ruangan rumah dan menu makan sendiri, memelihara kucing kesayangan dengan tenang.. Eh enggak tahunya malah ada kesulitan lain dengan suami. Dia selalu menaruh sepatu dan kaus kakinya sembarangan, belum lagi mengoroknya keras sekali, bikin saya tak bisa tidur. Dia tak mau makan sayuran yang sehat, maunya harus ada daging setiap hari.

Nando: Saya pikir Nindi itu wanita yang lembut, penuh perhatian, eh tahunya kecele saya. Ada sifatnya yang baru keluar setelah kami tinggal serumah, dia ternyata nyinyir banget, semua yang saya lakukan salah melulu. Mana cemburuan lagi, saya merasa terkekang setelah menikah..

Menurut Whiteman, Verghese, dan Petersen (1996) ada beberapa hal yang harus dipahami pasangan suami-istri agar mereka dapat mengelola hubungan mereka dengan baik, bahkan ketika mereka mengalami stres. Dari mana sajakah stres perkawinan muncul?
Perbedaan latar belakang

Istri yang dibiasakan orangtuanya membuang sampah dan meletakkan barang pada tempatnya tentu akan merasa terganggu dengan perilaku suami yang sembarangan meletakkan pakaian kerjanya.

Suami juga akan berharap istrinya tinggal di rumah dan memasak sendiri karena ibunya dulu melakukan hal itu, sementara istri tetap ingin berkarier karena ibunya dulu juga demikian.

Suami lebih suka menonton film perang, sedangkan istri memilih memutar acara sinetron di televisi. Istri lebih sering menjewer telinga anak sebagai cara disiplin, sedangkan suami merasa lebih baik memberi nasihat dan contoh.
Semua perbedaan latar belakang ini merupakan hal-hal yang bisa menimbulkan konflik dan pasangan harus membicarakan isu-isu tersebut dengan kepala dingin dan berkompromi.

Perbedaan gaya atau sifat

Suami mungkin suka mengorok, sedangkan istri jika bersin keras sekali. Kadang kala setiap orang mempunyai kebiasaan yang membuat pasangan merasa jijik atau sifat-sifat berlawanan, misalnya yang satu tertutup, pasangannya mudah membuka diri. Suami pengalah, pasangannya suka mengkritik.

Perbedaan tersebut bukannya tak dapat diatasi, tetapi akan menyebabkan stres. Belum lagi perbedaan jender yang merupakan hasil dibesarkan sebagai seorang laki-laki atau perempuan selama ini.

Para suami dan istri perlu memahami gaya dan sifat pasangannya serta belajar menerima. Adanya usaha mengubah sifat pasangan justru akan menimbulkan perlawanan dari pasangan dan tentunya dapat memperberat stres dalam hubungan mereka.

Perbedaan harapan/impian

Apa yang akan terjadi jika istri mendambakan tinggal di rumah mungil dengan halaman luas, tetapi suami membeli apartemen di tengah kota? Bagaimana bila suami memimpikan menjadi pelukis terkenal, tetapi pasangannya ingin suami berkarier di perusahaan? Atau yang satu ingin dapat berlibur ke pedalaman Irian, yang lain ingin ke Eropa?
Kita menyimpan banyak energi mental dan emosional pada harapan kita, kita harus bisa menyesuaikan satu sama lain, mencari titik temu dari perbedaan harapan karena ini merupakan bagian konflik lain dalam perkawinan.

Kekecewaan

Ketika kita menikah dan kemudian pasangan kita berubah, hal tersebut dapat menyenangkan, tetapi bisa juga mengecewakan kita.
Sebelum menikah, pasangan hanya menampilkan sisi-sisi positifnya saja, tetapi begitu pesta usai mereka kembali pada sisiaslinya. Ini semua dapat menimbulkan kekecewaan bagi pasangan.

Dengan makin menuanya seseorang, banyak suami-istri tak puas dengan kondisi pasangan, yang mungkin mulai memutih rambutnya, makin menggemuk badannya, sakit-sakitan. Sering kali pikiran yang dipengaruhi budaya tentang kemudaan dan penampilan yang tetap oke semakin menambah ketidakpuasan dan memperburuk hubungan perkawinan.

Perebutan kuasa

Meskipun sudah disepakati suami adalah kepala keluarga, perebutan kuasa bisa terjadi. Misalnya, istri sering mencari upaya memengaruhi keputusan suami, atau sebaliknya.

Perebutan ini tidak selalu buruk bila pasangan melakukan pertukaran pendapat yang berbeda secara adil dan tidak menimbulkan rasa kalah yang mendalam pada pasangan. Apakah pertukaran yang terjadi sesuai atau tidak dengan harapan pasangan, tetap ada potensi untuk munculnya stres. Hubungan terbaik adalah bukannya tak ada konflik, tetapi bagaimana kita dapat mengelola konflik secara baik.

Kekhawatiran kehilangan pasangan

Terutama pada zaman di mana perceraian merajalela, orang acap takut bila pasangan akan meninggalkan mereka. Istri, misalnya, cemas karena merasa suami tak perhatian lagi. Hal ini justru membuat suami makin menjauh dan istri makin panik, merasa putus asa.

Semua ini merupakan bagian dari stres yang biasanya muncul dari dalam diri, tidak tampil dalam bentuk pertengkaran, tetapi mengganggu perasaan setiap pasangan perkawinan. Menghadapi berbagai aspek stres interpersonal ini penting bagi pasangan untuk terus mengupayakan komunikasi terbuka dan efektif.

daftar pustaka

Problem Komunikasi Dalam Keluarga Terutama Anak


(Anak) : Mama...mama...adek nggak mau sekolah lagi...pokoknya nggak mau...sekolah itu nggak enak soalnya ada si dono yang badannya besar dan suka gangguin adek...adek takut, Ma...adek nggak mau ketemu dono....(sambil menangis)

(Mama): (mamanya sambil matanya lekat ke sinetron yang sedang seru-serunya) Mmmm...Oooo...Aahh nggak apa-apa, kan...biasa itu...masa’ begitu saja takut...pokoknya besok sekolah seperti biasa...ya! anggap saja tidak ada apa-apa....ya sudah, sana..! lagi seru niiih..wah, jadi kelewat deh ceritanya...! kamu sih...!

Situasi di atas sepertinya tidak asing lagi di jaman ini, di mana setiap orang, termasuk orang tua, seolah membangun dunia sendiri yang terpisah dari orang lain, bahkan anggota keluarganya sendiri. Komunikasi keluarga menjadi “barang mahal dan barang langka” karena masing-masing sibuk dengan urusan, pikiran dan perasaannya masing-masing. Akhirnya, komunikasi yang tercipta di dalam keluarga, adalah komunikasi yang sifatnya informatif dan superfisial (hanya sebatas permukaan). Misalnya, pemberitahuan agenda kerja ayah hari ini, rapat di kantor, janji bertemu orang, harus presentasi, atau mungkin membicarakan mengenai teman ayah punya pekerjaan baru, si Pak Tiar pergi ke luar negeri, tingkat bunga bank, kurs dollar, situasi politik, kerusuhan yang terjadi di luar daerah, dan lain sebagainya. Sementara ibu membicarakan tentang teman kerja di kantor, rencana bisnis ibu, rencana masak memasak, pertemuan arisan, acara televisi baru, atau membicarakan tentang anak teman ibu yang punya masalah. Anak-anak, punya dunianya sendiri yang sarat dengan keanekaragaman pengalaman dan cerita-cerita seru yang beredar di kalangan teman-teman mereka.

Dalam kepadatan arus informasi yang serba superfisial dan sempitnya “waktu bersama”, membuat hubungan antara orang tua – anak semakin berjarak dan semu. Artinya, hal-hal yang diutarakan dan dikomunikasikan adalah topik umum selayaknya ngobrol dengan orang-orang lainnya. Akibatnya, masing-masing pihak makin sulit mencapai tingkat pemahaman yang dalam dan benar terhadap apa yang dialami, dirasakan, dipikirkan, dibutuhkan dan dirindukan satu sama lain. Dalam pola hubungan komunikasi seperti ini, tidak heran jika ada orang tua yang kaget melihat anaknya tiba-tiba menunjukkan sikap aneh, seperti tidak mau makan, sulit tidur (insomnia), murung atau prestasinya meluncur drastis. Orang tua merasa selama ini anaknya seperti “tidak ada apa-apa” dan biasa saja. Lebih parah lagi, mereka menyalahkan anak, menyalahkan pihak lain, entah pihak sekolah, guru, atau malah saling menyalahkan antara ayah dengan ibu. Seringkali orang tua lupa, bahwa setiap masalah adalah hasil dari sebuah interaksi setiap orang yang terlibat di dalamnya. Setiap orang, punya kontribusi dalam mendorong munculnya masalah, termasuk masalah pada anak-anak mereka.

Seni Mendengarkan

Komunikasi, sesungguhnya tidak hanya terbatas dalam bentuk kata-kata. Komunikasi, adalah ekspresi dari sebuah kesatuan yang sangat kompleks : bahasa tubuh, senyuman, peluk kasih, ciuman sayang, dan kata-kata. Seni mendengarkan, membutuhkan totalitas perhatian dan keinginan mendengarkan, hingga sang pendengar dapat memahami sepenuhnya kompleksitas emosi dan pikiran orang yang sedang berbicara. Bahkan, komunikasi yang sejati, sang pendengar mampu memahami apa yang terjadi / yang dirasakan oleh lawan bicara meski dengan kata-kata yang sangat minimal.

Lalu bagaimana cara mendengarkan yang baik, dan apa manfaat dari mendengarkan, serta bagaimana evaluasi kita sebagai orangtua? Semuanya akan dikupas dalam PAKET produk bagaiamana cara mendidik anak agar sukses dan bahagia. Klik disini