Rabu, 03 Juni 2009

Ajarkan Anak Tanggung Jawab


KEDISIPLINAN bisa diajarkan dan dibiasakan pada anak sejak dini, tapi juga membutuhkan kesadaran yang datang dari diri sendiri. Dengan berdisiplin, anak juga belajar bertanggung jawab.

Dr Marvin Marshall, seorang konsultan dan penulis di sebuah surat kabar elektronik di Amerika, mengemukakan bahwa saat liburan tiba (terutama liburan Natal dan tahun baru), orang tua sering kali sibuk memikirkan tentang hadiah apa yang akan diberikan kepada putra-putrinya.

"Padahal ada hadiah yang tak ternilai harganya dan akan berguna hingga akhir hayat anak-anak kita, yaitu tanggung jawab," kata Marshall seperti dikutip dalam presentasi bertajuk How to Promote Responsibility.

Menurut Marshall, ada beberapa cara untuk menanamkan tanggung jawab dan disiplin tanpa membuat anak stres, tanpa hukuman, serta tanpa perlu pemberian hadiah.

Pertama, usahakan untuk selalu mengatakan dengan bahasa yang positif. Misalkan: "Kalau kamu bisa menyelesaikan PR-mu dengan cepat, maka kamu bisa segera pergi". Ini akan lebih efektif ketimbang mengatakan: "Kalau kamu tidak mengerjakan PR-mu, maka kamu tidak boleh pergi". Jadi setiap perkataan dan tindakan hendaknya dilandasi dengan kebijakan. Bagaimanapun, kebijakan lebih baik daripada konsekuensi yang sering diartikan sebagai hukuman.

Kedua, tawarkan pilihan. Pilihan memang bisa dibatasi, tapi dengan sering melatih anak untuk memilih, maka dia juga akan semakin bertanggung jawab, terutama terhadap pilihannya itu. Jika dia tidak kunjung memenuhi tugas dan tanggung jawabnya, coba tingkatkan pilihan sehingga dia mempunyai lebih banyak pilihan.

"Dalam hubungan pertemanan, 'tidak kalah' itu lebih penting ketimbang menang. Selama seseorang itu punya pilihan, dia tidak akan kalah. Maka, cobalah tawarkan pilihan-pilihan yang masuk akal pada anak-anak," saran Marshall dalam www.momstoday.com.

Pilihan itu bisa disadari atau tidak disadari. Setiap orang selalu punya kemungkinan untuk memilih, jangan ajarkan anak untuk berpikir sebagai "korban" atas hal tidak menyenangkan yang menimpanya. Misalkan,"Dia membuatku melakukan hal ini", "Aku tidak bisa mengontrol diriku sendiri", atau "Aku tidak punya pilihan lain".

Ketiga, berhati-hatilah dengan pertanyaan "mengapa?". Dalam pertanyaan tersebut terkandung makna "mengemukakan alasan", menjadi korban, atau menghindari tanggung jawab.



Ketika anak merasa terdesak, dia bisa mengemukakan alasan yang tidak benar (berbohong) untuk melindungi di-rinya dari rasa bersalah atau kemungkinan hukuman dari orang tuanya. Selain itu, batasi kebiasaan "menceramahi" anak. Kendati mungkin orang tua bermaksud baik untuk menasihati, tapi anak-anak bisa salah menilainya sebagai kritikan, atau mungkin mereka akan berpikir: "Ih, mama bawel amat sih!".

Keempat, jadilah pendengar yang baik. Orang tua juga hendaknya mencoba untuk mengerti dan mendengarkan cerita dan keluhan anak tanpa menginterupsi dengan pendapatnya. Ketimbang menghakimi, lebih baik tunjukkan ketertarikan dan rasa ingin tahu yang tinggi.

Mengelola kebiasaan mendengarkan untuk memahami akan kian mempererat hubungan orang tua dan anak. Orang tua yang memiliki kebiasaan mendengarkan yang buruk biasanya cenderung selalu menginterupsi. "Mengunci mulut" saat anak bercerita mungkin agak berat, tapi ini adalah salah satu jalan yang tepat untuk meningkatkan komunikasi. Bagaimanapun anak-anak butuh untuk curhat, maka jadilah pendengar yang baik sehingga mereka bisa mencontohnya.

Kelima, kemukakan keinginan Anda sebagai orang tua. Beri kesempatan pada anak untuk menolong Anda karena anak-anak tumbuh dengan memberi. Nyatakan lebih dari sekadar pujian, misalkan "Mama lihat kamu merapikan tempat tidurmu". Kalimat tersebut lebih menunjukkan kompetensi diri dan mengembangkan tanggung jawab anak ketimbang mengatakan, "Mama sangat bangga melihatmu merapikan tempat tidurmu," yang hanya menunjukkan sesuatu yang membanggakan orang tua.

Keenam, pemberian hadiah tidak akan memotivasi anak untuk bertanggung jawab. Jika anak mengetahui adanya reward, maka kemungkinan mereka akan mengalihkan pikiran untuk bertindak menjadi pikiran untuk menyuap atau mengambil hati orang tuanya. Padahal tujuan utamanya adalah meningkatkan tanggung jawab anak, bukan menghukum atau memberinya hadiah kan?

4 komentar:

  1. thx danh mampir tukeran banner yuk... aku pake link www.alamatusaha.com

    BalasHapus
  2. kalo sy memandang reward itu gak selalu berupa benda. Tapi pujian pun bisa sy anggap reward (kl pun memberi benda gak selalu yang harganya mahal). Sy pikir reward perlu karena kadang kita suka gampang ngasih ounshment tapi lupa ngasih reward padahal idealnya mnrt sy antara reward & punishment itu harus seimbang..

    BalasHapus
  3. yA, mEMANG TANGGUNG JAWAB HARUS MULAI DI AJARKAN SEJAK DINI, Saya teringat buku pak rhenald khasali, yang mengatakan ada anak kecil yang maen bola, nah trnyata memecahkan kaca tetangga, dan dia minta ayahnya mengganti, sang ayah mau mengganti asal dengan sarat dia mau bekerja membantu ayahnya sebagai ganti uang itu, nah itu buakn brarti ayahnya kejam tetapi memang lagi mengajarkan tanggung jawab, anda tahu siapa orang itu, Dia Adalah Abraham Lincoln, salah satu presiden Amerika yang bijak.. yang menyatukan selatan dan utara dengan mempertaruhkan nyawanya demi keadilan.. dan dia benar2 bertanggung jawab pada rakyatnya, dulunya berawal dari pengajaran bapaknya, begitu setahu saya, mohon koreksi bila salah... mav ya konya panjang?hehe..

    BalasHapus
  4. Terima kasih atas kunjungannya.

    Salam silaturrahim
    Parenting Islami

    BalasHapus